Jumat, 14 Oktober 2011

Berbicara Cinta


Selamat menjelang petang

Hari ini, mari kita berbicara mengenai cinta. Tapi, ssst…, jangan bilang siapa-siapa. Cukup antara kau dan aku yang tahu. Sekarang, ambil secangkir kopi dan duduk di sini bersamaku. Kita akan bersulang, membahas dengan sukacita.

Untuk secangkir kopi cinta pertama, mari kita bersulang untuk Kahlil Gibran. Penyair yang sampai akhir hayat mendedikasikan separuh hidup untuk menulis Puisi Cinta. Penggalan-penggalan sajak yang hampir membunuh jiwanya sendiri, lantaran memabukkan. Kata-kata manis yang hampir membuatnya bagai racun, lantaran termakan omongan.

Tapi tidak, bukan Kahlil Gibran dan cintanya yang akan kita bicarakan saat ini. Karena itu, untuk secangkir kopi cinta berikutnya, mari kita persembahkan untuk diri kita sendiri. Yang mau bersusah payah hadir dan memberi izin pada waktu untuk sekedar menyimak.

Mari bersulang. Untuk cinta dan beribu kisah cinta. Hahaha…

Kau tahu? Aku kini tengah menghabiskan beberapa tahun perjalanan untuk mencari cinta dan maknanya. Sesudahnya nanti, aku akan mendaftarkan profilku untuk meraih nobel. Atas pengorbananku mengorek informasi cinta. Aku layak masuk dalam sejarah. Aku berhak mendapat piagam. Karena aku menelisik dari beragam profesi, lintas masyarakat, dan cakrawala.

Pertama-tama aku mencari, aku mengais-ngais informasi dari seorang terdekatku. Nenekku yang bijak, Nenekku yang keriput dan baik hati. Aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ Dan Nenek dengan senang hati menjawab, ‘Cinta bagaikan melahap sepotong ayam goreng di zaman pendudukan Jepang’

Aku tidak puas. Lalu melanjutkan aksiku mencari cinta. Kali ini aku bersua dengan seorang tukang roti. Aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ serta merta ia menjawab, ‘Cinta adalah tepung yang bercampur dengan telur, gula, dan garam kemudian berubah menjadi sepotong kue roti yang lezat. Hmm..’

Aku masih belum puas. Lalu beranjak dan berjalan. Di jalan aku bertemu Pak Polisi yang gagah. Aku sempatkan bertanya, ‘Apa itu cinta?’dengan tampang sendu ia berujar, ‘Cinta adalah menyaksikan lalu lintas tertib dan damai. Juga saat tak ada lagi kriminalitas’. Aih, maaf Pak Polisi yang gagah. Aku semakin tidak paham.

Di kelas, saat pelajaran agama, aku memberanikan diri bertanya pada guru agamaku, ‘Bu Ustadzah, apa itu cinta?’ dengan bibir berulas senyuman, guruku itu menjawab, ‘Cinta adalah hubungan vertikal kepada Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama. Garis-garis itu tidak terlihat, namun memberi bekas pada kehidupan. Ia adalah nafas, detakan jantung, dan segala karunia-Nya’

Aku terdiam. Pernyataan guru agamaku cukup masuk akal. Tapi, tunggu. Aku masih belum puas.

Di lain kesempatan, aku bertemu dengan konsultan keuangan. Lagi-lagi, aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ setelah berpikir panjang ia menjawab, ‘Cinta adalah nominal angka yang tidak berbilang. Cinta tak dapat dibeli dengan receh atau dijual dengan uang berjuta-juta. Ia bahkan tidak terdaftar di bank manapun’

Tragis, menurutku. Sampai detik itu aku belum menemukan jawaban yang memuaskan hati.

Baiklah. Temanku pernah berkata, cinta itu tidak nyata. Karena pada dasarnya ia adalah sesuatu yang absurd. Ia membuktikan dengan metode ilmiah bahwa cinta hanyalah hormon phenylethamine, dopamine, dan norepinephrine yang memicu saraf menusia. Ia hanyalah reaksi kimia yang terdapat dalam tubuh. Entahlah.

Cinta katanya ilusi. Ia hanya hasil pemikiran para filusuf dan pujangga yang tidak lulus kompetisi. Entahlah. Aku hanya belum cukup tahu tentang hakikat cinta. Meski ternyata cinta adalah topik yang takkan pernah habis dibahas dari sejak zaman Adam-Hawa, Yusuf-Zulaikha, Rama-Shinta, Laila-Majnun, Romeo-Juliet, Syahrayar-Syahrazad, sampai menjelang kiamat.

Aku berjalan dan terus berjalan. Sambil merenung dan membayang. Seluruh informasi yang kudapat aku tulis di buku tebal bersampul beludru yang kusimpan hati-hati. Ia kubawa ke mana saja, di mana saja.

Sampai akhirnya aku pulang. Aku ingin beristirahat sejenak. Di rumahku yang kecil di pelosok desa terpencil, aku menghampiri Ibu. Kuamati ia, garis-garis wajahnya yang mulai menua. Rambut panjang yang mulai memutih. Kuraih tangannya, kucium dengan takzim. ‘Apa kabar Ibu? Ananda ingin betanya, apa itu cinta?’ Ibu menatapku hangat. Tatapan yang meruntuhkan egoku. ‘Cinta adalah kau dan aku, Nak. Dan juga Ia. Cinta bermekaran dalam hatiku, saat pertama kali kugendong dirimu, kukecup keningmu, meninabobokanmu saat tidur. Cinta juga yang menghadirkanmu di sini, antara aku dan ayahmu. Karena cinta aku tidak pernah mengeluh, menuntutmu membayar semua peluh yang pernah jatuh. Untuk cinta aku rela berkorban, demi melihatmu tetap bernapas dan berbahagia. Maka cintalah yang tidak akan pernah memisahkan kita, meski ajal tiba, meski berpisah di Padang Mahsyar. Cintamu, cintaku, cinta yang kelak berbuah surga…’

Aku terpekur. Menyelami setiap untaian kata-kata Ibu yang laksana tetesan embun oase di tengah gurun. Memandang tajam bola matanya yang sejernih mata air. Aku masih terdiam, sampai aku merasa hatiku dipenuhi kehangatan. Nur yang seakan tergenggam erat di tanganku. Lalu sejak itu, aku sadar. Aku puas dengan jawaban Ibu sesuai dengan profesinya.

Perjalananku belum selesai, Kawan. Aku masih mengembara mencari cinta. Masih banyak lautan dan hutan cinta yang belum kutelusuri. Masih berjuta misteri cinta yang belum ditelaah lagi. Sekarang, habiskan kopi cintamu, kita akan bergegas pergi. Hh.., mohon maafku pada-Mu, Tuhan. Aku lancang berbicara cinta…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar