Jumat, 14 Oktober 2011

Sajak Sang Pelacur

Masih ada sisa gincu pada bibirku yang kemerahan
Yang kata mereka begitu menggoda
Yang kata mereka tak sabar mengecupnya
Peluh di sekujur tubuh belum lagi kering
Bersimbah anggur dan bir murah warung kopi
Tawa lelaki masih tertinggal di telingaku
Bau asam mereka masih tertancap di penciumanku
Bah...
Orang orang bilang aku pendosa
Mereka menyumpahku celaka
Tapi, bagaimana lagi?
Hidup semakin duka saja
Tanpa rupiah, sama saja kita berdiam di hampa udara
Biarlah, biarlah
Asal anakkku bisa meraup setangkup roti
Jangan sampai ia tahu, jangan sampai ia mengerti
Takkan sanggup bila ia membenciku sepenuh hati
Tuhan,
Mungkin memang suratan takdir mencatatku sebagai seorang pelacur...


**terinspirasi dari seorang kupu-kupu malam, yang berjuang melawan keras kehidupan**

31052011

Bosan

Selamat malam, Bosan

Nampaknya kau tak bosan-bosannya padaku

Padahal aku sudah begitu bosan

Waktu-waktu kemarin, tadi pagi

Kenapa kau datang lagi?

Ah, Bosan!

Aku bosan padamu, tak tahukah kau?

Baru saja aku hening sejenak untuk mengenyahkan kebosananku

Tapi kau dengan lancangnya tiba

Muncul di depanku dengan seringai membosankan

Dan rayuan-rayuan gombalmu, serta keluhan serakmu

Kau tak peduli meski aku memekik karena bosan

Aku bosan, Bosan!

Sungguh, aku benar-benar bosan!


11062011

Luka Ibu

ah, ibu aku tidak mengerti ucapanmu

berapa kalipun kau sebut itu, ia tak jua tertoreh di benakku

diam-diam, ibu

aku sulit memahami

hanya saja kau terbiasa melirih dalam tangis

satu pesan, menjadi dua-tiga-seterusnya

izinkan aku mengais, tapi aku tak berani

aku memang pelupa, kadang pun lara tak lantas kuingat-ingat

sejuta nada bagiku tak ubahnya bagai desah

menghujam dalam luka, lalu bersimbah darah

akankah cinta menghapus dukamu, ibu?

tak lagi aku bertanya

aku ngeri pada jawaban, aku mati oleh kenyataan

bisa-bisanya kau menoreh belati, menghunus tajam

aku bisa luka, ibu

karena aku tidak mengerti?

bukan, kuyakin bukan itu

kalaulah bisa kuobati lukamu, akan

jangan lagi menyepi, ibu, kutahu kau tak mau begitu

kalau cinta saja bisa kau beli, itukah pula kebahagiaan?

maaf, bu

selamanya aku takkan pernah paham


21062011

Senja, Rokok, dan Kau

Senja tadi baru saja kita berceloteh, ditemani angin, polusi, dan bergelas-gelas kopi hitam.

Senja tadi kita merenung, lalu kau tertawa-tawa, melepas sajak.

Aku terdiam, menyaksikan angin mencumbu anak rambutmu.

Menyaksikan gurat kasar di wajahmu

Menyaksikan puntung rokok yang terselip di bibirmu

Aku hirau pada lalu-lalang, pada pengamen-pengamen kecil bertelanjang kaki, mencari receh

Aku usah pada deringan nada pesan yang bersahut-sahut

Mataku terpaku, pada asap nikotin yang membumbung jauh. Pada kopi dan seruput satu-satu

Senja tadi, sampai batas ia sembunyi di balik cakrawala

Ketika sajak, prosa, dan canda berpadu hening semata.

Sampai pada ampas rokok ketiga

Sebetulnya aku benci, aku terlanjur cemburu

Pada rokok yang kau hisap dengan nikmat itu, ah...

Kalau saja itu bibirku!


19072011

Berbicara Cinta


Selamat menjelang petang

Hari ini, mari kita berbicara mengenai cinta. Tapi, ssst…, jangan bilang siapa-siapa. Cukup antara kau dan aku yang tahu. Sekarang, ambil secangkir kopi dan duduk di sini bersamaku. Kita akan bersulang, membahas dengan sukacita.

Untuk secangkir kopi cinta pertama, mari kita bersulang untuk Kahlil Gibran. Penyair yang sampai akhir hayat mendedikasikan separuh hidup untuk menulis Puisi Cinta. Penggalan-penggalan sajak yang hampir membunuh jiwanya sendiri, lantaran memabukkan. Kata-kata manis yang hampir membuatnya bagai racun, lantaran termakan omongan.

Tapi tidak, bukan Kahlil Gibran dan cintanya yang akan kita bicarakan saat ini. Karena itu, untuk secangkir kopi cinta berikutnya, mari kita persembahkan untuk diri kita sendiri. Yang mau bersusah payah hadir dan memberi izin pada waktu untuk sekedar menyimak.

Mari bersulang. Untuk cinta dan beribu kisah cinta. Hahaha…

Kau tahu? Aku kini tengah menghabiskan beberapa tahun perjalanan untuk mencari cinta dan maknanya. Sesudahnya nanti, aku akan mendaftarkan profilku untuk meraih nobel. Atas pengorbananku mengorek informasi cinta. Aku layak masuk dalam sejarah. Aku berhak mendapat piagam. Karena aku menelisik dari beragam profesi, lintas masyarakat, dan cakrawala.

Pertama-tama aku mencari, aku mengais-ngais informasi dari seorang terdekatku. Nenekku yang bijak, Nenekku yang keriput dan baik hati. Aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ Dan Nenek dengan senang hati menjawab, ‘Cinta bagaikan melahap sepotong ayam goreng di zaman pendudukan Jepang’

Aku tidak puas. Lalu melanjutkan aksiku mencari cinta. Kali ini aku bersua dengan seorang tukang roti. Aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ serta merta ia menjawab, ‘Cinta adalah tepung yang bercampur dengan telur, gula, dan garam kemudian berubah menjadi sepotong kue roti yang lezat. Hmm..’

Aku masih belum puas. Lalu beranjak dan berjalan. Di jalan aku bertemu Pak Polisi yang gagah. Aku sempatkan bertanya, ‘Apa itu cinta?’dengan tampang sendu ia berujar, ‘Cinta adalah menyaksikan lalu lintas tertib dan damai. Juga saat tak ada lagi kriminalitas’. Aih, maaf Pak Polisi yang gagah. Aku semakin tidak paham.

Di kelas, saat pelajaran agama, aku memberanikan diri bertanya pada guru agamaku, ‘Bu Ustadzah, apa itu cinta?’ dengan bibir berulas senyuman, guruku itu menjawab, ‘Cinta adalah hubungan vertikal kepada Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama. Garis-garis itu tidak terlihat, namun memberi bekas pada kehidupan. Ia adalah nafas, detakan jantung, dan segala karunia-Nya’

Aku terdiam. Pernyataan guru agamaku cukup masuk akal. Tapi, tunggu. Aku masih belum puas.

Di lain kesempatan, aku bertemu dengan konsultan keuangan. Lagi-lagi, aku bertanya, ‘Apa itu cinta?’ setelah berpikir panjang ia menjawab, ‘Cinta adalah nominal angka yang tidak berbilang. Cinta tak dapat dibeli dengan receh atau dijual dengan uang berjuta-juta. Ia bahkan tidak terdaftar di bank manapun’

Tragis, menurutku. Sampai detik itu aku belum menemukan jawaban yang memuaskan hati.

Baiklah. Temanku pernah berkata, cinta itu tidak nyata. Karena pada dasarnya ia adalah sesuatu yang absurd. Ia membuktikan dengan metode ilmiah bahwa cinta hanyalah hormon phenylethamine, dopamine, dan norepinephrine yang memicu saraf menusia. Ia hanyalah reaksi kimia yang terdapat dalam tubuh. Entahlah.

Cinta katanya ilusi. Ia hanya hasil pemikiran para filusuf dan pujangga yang tidak lulus kompetisi. Entahlah. Aku hanya belum cukup tahu tentang hakikat cinta. Meski ternyata cinta adalah topik yang takkan pernah habis dibahas dari sejak zaman Adam-Hawa, Yusuf-Zulaikha, Rama-Shinta, Laila-Majnun, Romeo-Juliet, Syahrayar-Syahrazad, sampai menjelang kiamat.

Aku berjalan dan terus berjalan. Sambil merenung dan membayang. Seluruh informasi yang kudapat aku tulis di buku tebal bersampul beludru yang kusimpan hati-hati. Ia kubawa ke mana saja, di mana saja.

Sampai akhirnya aku pulang. Aku ingin beristirahat sejenak. Di rumahku yang kecil di pelosok desa terpencil, aku menghampiri Ibu. Kuamati ia, garis-garis wajahnya yang mulai menua. Rambut panjang yang mulai memutih. Kuraih tangannya, kucium dengan takzim. ‘Apa kabar Ibu? Ananda ingin betanya, apa itu cinta?’ Ibu menatapku hangat. Tatapan yang meruntuhkan egoku. ‘Cinta adalah kau dan aku, Nak. Dan juga Ia. Cinta bermekaran dalam hatiku, saat pertama kali kugendong dirimu, kukecup keningmu, meninabobokanmu saat tidur. Cinta juga yang menghadirkanmu di sini, antara aku dan ayahmu. Karena cinta aku tidak pernah mengeluh, menuntutmu membayar semua peluh yang pernah jatuh. Untuk cinta aku rela berkorban, demi melihatmu tetap bernapas dan berbahagia. Maka cintalah yang tidak akan pernah memisahkan kita, meski ajal tiba, meski berpisah di Padang Mahsyar. Cintamu, cintaku, cinta yang kelak berbuah surga…’

Aku terpekur. Menyelami setiap untaian kata-kata Ibu yang laksana tetesan embun oase di tengah gurun. Memandang tajam bola matanya yang sejernih mata air. Aku masih terdiam, sampai aku merasa hatiku dipenuhi kehangatan. Nur yang seakan tergenggam erat di tanganku. Lalu sejak itu, aku sadar. Aku puas dengan jawaban Ibu sesuai dengan profesinya.

Perjalananku belum selesai, Kawan. Aku masih mengembara mencari cinta. Masih banyak lautan dan hutan cinta yang belum kutelusuri. Masih berjuta misteri cinta yang belum ditelaah lagi. Sekarang, habiskan kopi cintamu, kita akan bergegas pergi. Hh.., mohon maafku pada-Mu, Tuhan. Aku lancang berbicara cinta…

Kamis, 06 Oktober 2011

Computer History

Berbicara mengenai komputer, saat ini sebagian besar orang tentu tahu mengenai apa itu komputer, dan bisa dipastikan juga hampir setiap individu butuh dengan alat teknologi satu ini. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pegawai kantoran, dan sebagainya. Komputer belakangan ini menjadi salah satu 'alat vital' masyarakat. Tentu saja karena perkembangan teknologi yang demikian pesat, kebutuhan mengenai teknologi (salah satunya komputer) juga sangat meningkat.

Tetapi banyak juga yang belum tahu mengenai Sejarah Komputer. Dulu komputer merupakan barang langka dan hanya orang-orang tertentu saja yang menggunakan serta memiliki komputer. Karena itu, sekarang kita akan membahas mengenai sejarah perkembangan alat teknologi yang satu ini...

Komputer adalah alat yang dipakai untuk mengolah data, terdiri dari beberapa komponen yang saling bekerja sama menghasilkan suatu informasi dari data dan program yang ada. Ternyata dalam sejarah komputer, ada lima generasi yang telah dilewati
  1. Generasi Pertama: Karena Perang Dunia II, negara-negara maju yang terlibat saling berlomba-lomba menciptakan komputer, yaitu alat teknologi yang diklaim sebagai alat canggih untuk kepentingan negara-negara tersebut. Sebagai contoh, pada 1941 seorang insinyur Jerman bernama Konrad Zuse membangun sebuah komputer untuk mendesain pesawat terbang dan peluru. Tidak mau kalah, Inggris pada tahun 1943 menciptakan Colossus, yaitu komputer yang digunakan sebagai pemecah kode rahasia Jerman. Dan jangan dikira komputer pada masa itu berukuran kecil, mungil, dan simpel seperti sekarang. Pada masa itu komputer memerlukan sebuah ruangan besar dengan kabel bermil-mil panjangnya. Karena itu juga komputer generasi pertama sulit untuk diprogram. Ciri lain dari komputer generasi pertama adalah menggunakan vacuum tubes (yang membuatnya berukuran sangat besar) dan juga silinder magnetik untuk menyimpan data
  2. Generasi Kedua: Di generasi ini mulai berkembang produksi komputer yang menggunakan transistor. Otomatis penggunaan vacuum tubes yang terkenal boros tempat dan ukuran menjadi berkurang. Pada tahun 1956, penggunaan transistor di dalam komputer pertama kali yang akhirnya mengacu pada produksi komputer yang lebih kecil, lebih cepat, lebih dapat diandalkan, dan lebih hemat energi dibanding pada saat penggunaan vacuum tubes. Pada generasi kedua ini, selain berkembangnya transistor, berkembang juga industri piranti lunak
  3. Generasi Ketiga: Pada kenyataannya penggunaan transistor juga berujung pada negatif yaitu selain menghasilkan panas yang cukup besar, transistor juga berefek pada kerusakan bagian internal pada komputer. Hal ini akhirnya yang membuat seorang insinyur dari Texas Instrument bernama Jack Kilby mengembangkan IC (integrated circuit) salah satu komponen yang terdapat dalam IC adalah batu kuarsa yang dapat menangani masalah-masalah tersebut. Saat itu pula para ilmuwan berhasil menggabungkan banyak komponen ke dalam satu chip sehingga ukuran komputer menjadi lebih kecil dari sebelumnya
  4. Generasi Keempat: Setelah berkembangnya IC, muncullah kemudian di generasi ini Large Scale Integration (LSI) dan Very Large Scale Integration (VLSI) yang bisa memuat ribuan komponen dalam satu chip. Oleh karena itu ukuran komputer bisa semakin diperkecil dan mudah digunakan. Karena semakin pesatnya perkembangan, komputer tidak lagi dipakai hanya untuk kantor dsb melainkan orang biasa juga dapat menggunakannya. IBM mengeluarkan Personal Computer (PC) untuk digunakan di rumah, sekolah, dan kantor pada 1981 (CPU Pentium 1, 2, 3, 4) dan akhirnya pemakaian PC melonjak selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Sebetulnya sejarah komputer masih sangat panjang dan banyak. Yang kita bahas ini hanya sebagian kecil dari ringkasan yang sudah ada. Namun secara garis besar kita tahu bahwa komputer yang sering kita gunakan dan menjadi kebutuhan kita saat ini juga mengalami perjalanan yang kompleks. Awalnya komputer sebagai benda berukuran besar dan masih sulit digunakan dan kini menjadi benda yang bahkan bisa kita bawa ke mana-mana. Bukan tidak mungkin ke depannya nanti komputer menjadi semakin canggih, hanya berupa chip yang ringan dan bisa masuk ke dalam kantong! Karena teknologi semakin canggih dan maju, bisa saja yang sering kita lihat mengenai teknologi di film-film fiksi ilmiah menjadi nyata dan bisa kita gunakan sehari-hari... Siapa tahu?

sumber: wikipedia.org

Senin, 03 Oktober 2011

Hujan Sore Itu..

riap riap anak air membasahi anak rambut

lipstik merahku luntur

gaun berendaku basah

ada surat di genggaman yang lapuk oleh hujan

tinta-tinta yang berkaburan

dan desember menjadi akhir dari segala awal

lupakan saja pada komidi putar dan permen kapas

juga jemari bertaut, juga kecup-kecup malu

khayal lantas menjadi pudar

hari itu,

kita berpisah


15062011

Manusia

manusia apatis pongah dan berlidah dua

menyimpan bisa melolong menari mereguk cinta

senyum-senyum bertopeng tabir muka penuh bopeng

itu mungkin aku

kau

kami

mereka

terbahak kini menangis nanti

merindu esok merintih lusa

maya

ia meniupkan jampi.

kuali berkuah menggelegak nyata, meski palsu

malam-malam saat matahari sudah lama tidur. mengendap-endap

membungkus asmara, terengah mengecap nikmat

dan tak sadar kokokan ayam sahut-sahutan

ia pernah lalai. tapi tak pernah capai

memang iman berupa gunung juga kandas dilalap api

ia tidak mau begitu, ia tanam kembali. dipupuki dengan tinja kerbau, tak ada uang.

lamat laun, lahannya berubah. tak lagi berupa kotoran ia kini menjelma laut.

subuh-subuh saat air lebih dingin dari embun

manusia

manusia

hanya saja... manusia


14062011

Melancong

1.

ketika aku berjalan pada setapak yang sepi, lalu lalang.

orang-orang bahkan menertawakan langkah kaki yang tertatih, tanpa asa

bukan aku tak mau menoleh tapi aku takut tertoreh, sembilu

lalu darah yang mengalir sehitam dosa, tak lagi memerah tua

aku bertumpu pada pasir

2.

dan, tuan matahari membakar pori. terbahak keras

maka kutapaki langkah satu-satu juga tubuhku luka-luka

aku tak mampu berteriak. air tak sudi mengalir melewati lidah. pahit.

berjalan menerobos cadas dan kerikil yang setajam duri, aku usah.

tidak, karena aku benci bahakan pohohn-pohon dan burung-burung di sana-sini

3.

sejujurnya pada saat aku melongok samudera, aku pilu

ikan-ikan gemuk dan lincah bahkan pandai merangkai dusta

kaum nelayan mengapa pongah menyisa kata aku tak tahu.

dan air sebiru, murni tanpa sampah, aku melawan pantulan

ia memanggil-manggil

aku jatuh, terjatuh

dan tiada ujung

1406211