Jumat, 18 Juni 2010

Metamorfosis Sang Fatamorgana


Leherku sesak, tercekik.

Seperti ada dua pasang tangan yang tak terlihat mencengkeramnya kuat-kuat. Hh...., aku nyaris saja tersedak.

Hh...hh..., aku terengah-engah. Keringat dingin bercucuran di pelipisku, punggung, sekujur tubuh.Seolah habis menjadi peserta lomba lari maraton berkilo-kilo meter jauhnya. Tapi tidak, aku tetap di sini. Berbaring di atas tempat tidur yang tidak kukenali. Semuanya, sejauh mata memandang hanya warna putih yang terlihat.

Arrrgghh....., sakit itu kembali menerjang. Aku berontak,ingin kucengkeram leherku kuat-kuat. Berharap menemukan sepasang tangan yang tak terlihat itu. Tega sekali dia! Tidakkah pemiliknya melihat bahwa aku sangat kesakitan begini? Tidakkah ia tahu bahwa aku sudah berusaha lepas darinya?

Tiba-tiba, bayangan itu berkelebat. Bayangan-bayangan yang terus bergulir cepat. Aku pusing, mual. Siapa mereka? Mengapa tidak datang menolongku?

Aku terkesiap, kulihat diriku di antara bayangan-bayangan itu. Diriku di sana dengan muka berbinar bahagia. Tertawa-tawa dengan segerombolan orang yang kukenal sebagai kolega dan sahabat terdekatku. Apa itu yang kubawa? Botol besar berwarna hijau bening. Kulihat aku menegaknya habis dengan penuh kenikmatan. Akh..., mendadak tenggorokanku terasa kering. Tolooong..., aku haus. Beri aku minum. Hey, kau yang di sana? Kau itu aku, bukan? Mengapa kau diam saja melihat dirimu di sini kehausan??

Aku mencoba mengangkat tanganku. Berat, kaku sekali. Kenapa anggota badanku sendiri tak dapat kuperintah?

Suara-suara bising. Bayangan itu berkelebat lagi. Seperti roda berputar. Aku mendengar sebuah suara keras menghentak-hentak yang sangat kukenali. Rasanya akrab sekali di telingaku. Ah..! itu dia, diriku! Apa yang kulakukan di sana? Bergoyang liar di tengah gerombol para lelaki. Keringat mengucur deras. Tapi nampaknya aku tak peduli. Ya, musik itu! Aku tahu, aku tahu aku sangat menyukainya. Hey, kau itu aku, bukan? Kumohon, berhentilah menari! Aku muak melihatmu. Tidakkah kau risih dengan para buaya di sekelilingmu? Mereka menggapai, bersiul, bersorak...

Kali ini sunyi. Ya, bayangan yang kali ini datang begitu sunyi. Aku merinding. Aku tak suka kesepian ini. Di ujung sana kulihat seseorang, bersimpuh. Seorang wanita. Kedua tangan menutupi wajahnya. Siapa dia? Apa yang ia lakukan? Badannya berguncang hebat, menangiskah?

Lalu kulihat aku datang, dengan wajah dingin, penuh keangkuhan. Apa itu yang kubawa? Sebuah tas besar yang bergantung di pundak. Tapi untuk apa?

“Saya membencimu...” samar kudengar aku berkata.

“ Anda tak dapat membahagiakan saya. Anda tidak dapat mengerti keputusan saya...., Anda tidak pernah menyetujui keinginan saya..., sekarang saya akan pergi. Dan jangan harap saya kembali lagi. Saya tak sudi tinggal di tempat ini lagi....”

Seraya berkata begitu, diriku berbalik pergi. Meninggalkan wanita tua itu sendirian. Aku bahkan tak peduli meski ia memanggil-manggil namaku, memohon padaku untuk tidak beranjak pergi. Menangis putus asa.

Ah..., siapa dia? Kasihan....

Wanita itu mendongak. Wajahnya bengkak, lebam. Ia merintih kesakitan, tersedu. Wanita tua yang ringkih, kurus dan kering.

Ah... dia...wanita itu...Mama? Mama?! Apa yang telah aku lakukan pada Mama? Mama, kenapa menangis....? Wanita yang....sungguh, kurindukan akhir-akhir ini.....

Semuanya berubah. Tak ada lagi Mama. Yang ada hanya bayangan sebuah ruangan kecil berantakan. Ada aku lagi di sana. Bersandar di tepi tempat tidur dengan mata terpejam. Seseorang mendekatiku. Berbadan atletis, berwajah tampan. Ah...rasanya aku kenal ia. Orang yang dulu sering mengisi hari-hariku. Yang karenanya aku merasa bahagia. Ia mendekatiku yang sedang terpejam. Aku di sana membuka mata, tampak memelas, kesakitan.

Ia mengambil tanganku. Dan mengambil sesuatu dari sakunya. Aku memicingkan mata, apa itu? Sebuah alat yang biasa dipakai para dokter dan perawat. Ia menyuntikkan alat itu tepat di pangkal tangan. Dalam sekejap, kulihat wajahku yang terlihat bahagia. Lelaki itu meraihku, membawaku ke dalam pelukannya. Mendadak ia tertawa. Terbahak-bahak. Kami berdua terbahak. Penuh kesenangan.

Hilang. Semua kembali putih. Bayangan-bayangan itu, apakah nyata atau aku hanya bermimpi? Tapi mengapa rasanya aku pernah melakukannya? Seolah hal itu sudah sering kulakukan.

Hhh...hh.. leherku kembali sakit. Sialan! Kurang ajar! Siapa yang tega melakukan hal ini padaku?

Aaaaarrrrggghhhh.......!!!

Di tengah rasa sakit yang begitu kuat, aku melihat sesosok berpakaian putih mendatangiku.

“Siapa kau?” aku lantas bertanya. Tapi tak ada suara yang keluar. Seakan tertahan di tenggorokan. Sosok itu mendekat. Aku tak bisa melihatnya. Ia bercahaya. Membutakan penglihatanku. Namun samar kulihat ia tersenyum, sedih. Mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti. Lalu mendadak ia berubah murka, membuat cahaya di sekitarnya berpendar-pendar. Aku takut. Ia semakin marah seraya mengucapkan sesuatu. Namun aku tak mengerti ia berkata apa.

Sedetik kemudian aku sadar. Ingatanku pulih. Pertama yang terlintas adalah Mama, wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Aku ingat aku telah banyak berbuat jahat padanya. Durhaka. Aku ingat aku selalu membentaknya, tak kenal waktu. Tak pernah terucap di bibirku kata terima kasih....

Lalu kuingat Roy, lelaki yang padanya aku berlabuh. Lelaki yang telah mengenalkanku pada dunianya. Dunia yang bernama dunia malam. Tempat segala macam kenikmatan duniawi berada. Tempat yang selalu membuatku terpesona. Materi..., finansial..., tapi kurasa... tidak dengan jiwaku.

Aku ingat ke mana aku berada di setiap malam. Aku ingat apa yang selalu kulakukan setiap hari. Aku bahkan ingat bahwa aku sama sekali tak pernah merawat Mama yang sedang sakit parah ketika itu. Aku meninggalkan Mama sendirian di tengah perjuangannya menahan sakit. Mengapa aku setega itu? Mana nuraniku? Ah...., apa yang selama ini telah kulakukan?

Aku menggigil. Hebat. Ada rasa menyesal yang begitu kuat dalam hatiku. Apa yang telah kuperbuat? Ah....Tuhan, telah berapa lamakah terakhir kali aku menyebut kata itu? Kata yang dulu pernah membuat hatiku runtuh, runtuh oleh keagungan-Nya. Tapi, kapankah itu? Terakhir kali aku bersujud, bersimpuh kepada-Nya? Telah berapa banyak waktu dalam hidupku yang telah kusia-siakan?

Lalu aku ingat, saat terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam. Jurang yang telah mengantarku ke dalam keadaan ini. Kesakitan. Kubangan hitam penuh lumpur, keruh.... Kubangan yang menghancurkan masa depanku, yang orang-orang selalu menyebutnya narkotika. Mengapa aku tidak pernah hati-hati? Di manakah iman itu?

Dan sekarang, apa yang sedang terjadi padaku? Siapakah sosok bercahaya di depanku ini?

Arrgghhh...... leherku, sakit...! sakit sekali....! Tolooong....!! Apa yang terjadi padaku? Ada apa ini? Apakah....apakah....ini.....?? Ti...Tidaaakk...!

Sosok di depanku semakin mendekat. Namun itu membuatku semakin gemetar ketakutan. Tak terkendali. Adakah waktu bagiku untuk sekedar.....bertaubat...?

Semua menjadi kabur. Samar, terdengar suara orang-orang membaca surah Yaa Siin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar