Senin, 14 Juni 2010

Ada Cinta di Langit Makkah

Ada hal menarik yang membuatku senantiasa mengingatnya. Mata yang tulus penuh jenaka. Bibir yang tak henti berulas senyuman. Tubuh tinggi tegap seakan sebuah tiang yang kokoh. Peci putih menghiasi kepala dan rambut yang sedikit kecoklatan. Dan juga wajah yang bercahaya karena air wudhu. Padahal hal itu sudah hampir enam tahun lalu. Meski samar, aku masih bisa mengingat potret wajah menawan miliknya.

Ia, sosok seorang kakak yang menjadi panutan bagi adik-adiknya. Mereka empat bersaudara. Dengan ia sebagai kakak sulung. Berwibawa dan penuh perlindungan, setidaknya itu yang dapat kutangkap saat pertama kali melihatnya di Jabal Rahmah, di antara debu-debu kota Makkah.

Kesan yang mendalam di hatiku. Seolah sebilah belati tertancap di sana dan tak seorangpun dapat mencabutnya. Aku yang saat itu masih lugu, masih ingusan, masih kering oleh falsafah-falsafah kehidupan. Tapi aku tahu ada yang istimewa padanya meski aku sendiri tak dapat melukiskan. Di atas lantai marmer Masjidil Haram tempatku berpijak, saat tak sengaja kulihat ia menengadahkan tangan dengan penuh khusyuk. Kedua mata terpejam. Bibir tak henti membisikkan do’a. Ia pemuda yang shaleh. Yang sangat mencintai Tuhannya.

Banyak hal yang kupelajari darinya. Meski kami sama sekali tak saling kenal, tak pernah saling bertukar sapa. Hanya saja suatu kali saat pandangan kami bertemu. Di antara bebatuan Jabal Rahmah. Di mana para pemuda Makkah menawarkan tumpangan unta-unta mereka. Anak-anak Afghan lusuh, menjajakan tasbih-tasbih. Di tengah udara panas dan angin kering padang pasir di bulan Ramadhan. Mata yang menatapku dengan senyum. Bersahaja, namun tangguh. Jenaka, tetapi tegas. Di tangannya tergenggam erat sebuah Al-Qur’an kecil. Ia sedang menghafal.

Ia sangat mencintai adik-adiknya. Aku tahu itu. Bagaimana cara ia memandang mereka. Bagaimana saat ia mengajak mereka bercengkerama. Kakak yang baik. Ia pasti sangat dihormati. Ayahnya, lelaki tegap berkacamata. Mewariskan kepadanya garis tubuh yang amat mirip. Mereka berbicara berdua dengan serius, entah mengenai apa. Sangat erat. Satu hal lagi yang membuatku menilainya jauh lebih tinggi. Ia begitu dekat dengan seluruh anggota keluarga. Menjadikannya anak sulung yang amat dicintai. Panutan, kebanggaan.

Sungguh menyenangkan melihat cara dia tertawa. Begitu lebar dan lepas. Membuatku ikut tersenyum dari kejauhan. Sungguh kagum aku saat melihatnya berbicara. Ketiga adiknya menatap patuh seolah terhipnotis. Seolah ada sihir tak kelihatan yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Kami tak saling kenal. Tapi entah mengapa aku merasa sudah mengenalnya jauh. Aku merasa pernah melihatnya. Namun entah di mana. Rasanya....., ah. Mungkin hanya halusinasi.

Kenangan itu masih membekas. Susah sekali hilang dari benakku. Ia telah terpatri begitu saja. Seperti sudah ditakdirkan untuk menetap di sana. Terpenjara dan tak dapat lari. Terkadang, bila tiba-tba teringat, aku mendadak tertawa. Ya, menertawakan kebodohanku. Bukankah kami tak saling kenal? Untuk apa pula aku menuangkannya di sini, saat ini? Mungkin jawabannya adalah karena aku sendiri. Aku yang tidak rela untuk melepasnya dari sel-sel memori otakku. Karena ia sempat mewarnai hari-hari di Tanah Suci. Karena juga kekagumanku yang melekat padanya. Ia pemuda yang shaleh, ya, yang sangat mencintai Tuhannya.

Sekali lagi kami memang tak saling kenal. Bertutur kata pun tidak. Meski hanya bertukar pandang dan saling melempar senyum. Kedua bola mata yang cerdas. Peci putih menghias kepala. Senyum lebar dan hidung bangir. Pandangannya tertunduk. Isyarat yang tak mudah dilupakan.

Muhammad Rheza, di manapun kau berada aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena membuatku belajar lebih menghargai. Terima kasih telah membuatku semakin yakin akan cinta hakiki. Kedekatanmu pada-Nya yang pernah membuatku iri. Terima kasih, Rheza. Semoga suatu saat kita dapat bersua kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar